Makalah ahklak tasawuf
BAB 1
PENDAHUALUAN
Latar belakang
Dalam ilmu taswuf terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil diartikan sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut para ahlitasawuf falsafi ibnu Arabi dan Abd Aljilli, insan kamil yang paling sempurna adalah nabi Muhammad Saw.
Khalayak biasanya mengartikan “insanul kamil” sebagai manusia sempurna sebagai aktualisasi dan contoh yang perna ada hidu di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah Muhammsd Saw. Tapi sayang sosok nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya beliau hanya dilihat secara partial saja, [adahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu berduyun-duyunlah “pakar” Islam dari masa kemasa menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf “wajib”, kepada umat Islam untuk mengikuti contoh “perilaku” Nabi Muhammad saw.
Bagaimana konsep insan Kamiil dalam ilmu tasawuf yang lebih spesifik, akan dijelaskan pada makalah ini.
Rumusan Masalah
Apakah pengertian Insanul Kamiil ?
Bagaimanakah sejarah ringkas konsep Insanul Kamiil ?
Tokoh-tokoh dan ajaran Insanul Kamiil ?
Tujuan
Dari rumusan masalah diatas maka tujuan dibuatnya makalah ini yaitu:
Untuk mengetahui pengertian dari insanul kamiil.
Untuk mengetahui bagaimanakah sejarah ringkas dari konsep insanul kamiil.
Dan untuk mengetahui mengetahu tokoh tokoh dan ajaran insanul kamiil.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Insanul Kamiil
Insan kamiil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata yaitu insan dan kamiil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamiil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamiil berarti manusia yang sempurna.
Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan memgacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.
Adapun kata kamiil dapat pila berarti suatu keadaan yang sempurna dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
Selanjutnya kata insan dijumpai didalam Al-Qur’an dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamaknya kata al-nas yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Yang kedua bersala dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan minta izin, dan semua artinya berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima penagajaran.
Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasia, insan mengandung arti lupa, dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Dengan demikian, insan kamiil lebih ditujukan kepada manusia yang lebih sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan pendahuluan fikih dan tasawuf inilah insan kamiil akan lebih terbina lagi. Namun insan kamiil lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyahnya, atau segi potensi intelekstuanya, rohaninya dan lainnya itu.
Insan kamiil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapakan dari manusia Insan Kamiil. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya didunia dan akhirat. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. :
(((((( (( ((((((( ((((( (((( ((((((( (((( (((( (((( ((((( (((( (((((((( ((((((( ((((
88. (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
89. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,
Ayat tersebut diatas menunjukkan bahwa yang akan membawa kesalamatan manusia adalah bathin, rohani, hati dan perbuatan yang baik orang yang demikian itulah yang dapat disebut sebagai insan kamiil. Ppada ayat lain didalam Al-Qur’an banyak dijumpai bahwa yang kelak akan dipanggil masuk surga adalah jiwa yang tenang (Nafsu mutamainnah).
Sejarah Ringkas Konsep Insanul Kamiil
Ibn Arabi dan Konsep Insan Kamil
Ketika Ibn Arabi membahas manusia, beliau biasanya mengarahkan pembahasannya pada manusia sempurna, bukan manusia biasa yang umumnya dikenal dengan pelupa dan bodoh. Hakikat manusia sempurna yang dimaksudkan adalah arketipe abadi dan kekal dari seluruh manusia sempurna secara individual.
Muhyiddin Ibn Arabi menggunakan istilah manusia sempurna (insan kamil) dari sisi pandangan khusus tasawuf. Beliau mengambil pandangan al Hallaj lalu mengubahnya secara mendasar dan cakupannya pun dikembangkan secara jauh lebih luas.
Ibn Arabi dualisme aspek “lahut” dan “nasut” ditampilkannya dalam satu hakikat, bukan memiliki zat atau esensi tersendiri, lalu lahut dan nasut bukan hanya terdapat pada manusia, bahkan secara potensial ia mewujud pada setiap perkara yang lain, bahkan di otak pun terdapat peran keduanya, sehingga pada segala sesuatu dapat dikenali nasut sebagai manifestasi eksternal dan lahut sebagai manifestasi internal/batin. Namun Allah SWT yang memanifestasi (tajalli) pada segala sesuatu secara nyata, Dia mengejawantah secara sempurna pada sosok insan kamil dimana para nabi dan para wali merupakan contoh kongkrit yang paling menonjol darinya.
Pandangan ini merupakan tema asli dua kitab utama beliau, Fushus al Hikam dan at Tadbirat al Ilahiyyah, dan banyak bagian-bagian penting dari kitab tersebut yang kemudian ditelaah dan dikajinya kembali dalam kitab Futuhat al Makkiyah dan pelbagai karya beliau lainnya. Kitab Fushus al Hikam yang kemudian begitu tenar di kalangan umat Islam menjadi gita sufistik yang sangat disambut oleh para ulama kenamaan. Dalam beberapa abad yang lalu, lebih dari seratus sepuluh syarah dalam bahasa Persia, Turki, dan Arab ditulis untuk buku ini dan pandangan/teori insan kamil dipaparkan sebagai salah satu diskursus klasik mistik teoritis (`irfan nazhari).
Fushus al Hikam mempunyai dua puluh tujuh fash (segmen) dan masing-masing fash dinamai dengan nama-nama para nabi dimana mereka merupakan manifestasi insan kamil di zamannya dan salah satu dari pengejawantahan Muhammadiyah (Nur Muhammad) dan manifesati yang komprehensif dan holistik dari insan kamil adalah Nabi Muhammad saw.
Ibn Arabi memandang bahwa insan kamil adalah wakil yang benar/sah di muka bumi dan muallimul mulk (pengajar alam gaib) di langit. Dalam perspektif beliau, insan kamil adalah potret yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah dan derajatnya lebih baik dari batasan mungkin dan lebih tinggi dari maqam ciptaan (makhluk). Karena kedudukannya, pancaran rahmat dan bantuan al Haq (Allah SWT)—yang merupakan penyebab kelestarian alam—sampai kepada alam.
Teori Insan Kamil dalam Pandangan Muthahari
Berbeda dengan Ibn Arabi yang mengulas konsep insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari mengkaji insan kamil dalam bukunya “Perfect Man” dari sudut pandangan Alquran. Namun sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional.
Muthahari mengkitik tasawuf negatif yang hanya memperhatikan satu aspek dan nilai saja. Beliau mengkritik tajam kaum sufi yang mengabaikan peran akal dalam mendekati dan memahami agama serta perannya dalam perjalanan spiritual. Bagi Muthahri, pengembaraan dan pencerahan spiritual harus memakai kendaraan akal supaya sukses.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa Muthahari tidak menyerang ajaran tasawuf secara keseluruhan, namun sikap ifrath (ekstremitas) dan tafrith (kelonggaran) yang menjadi sasaran kritikannya. Sebab bagi beliau, insan kamil adalah sosok manusia yang bukan hanya superior di satu bidang dan nilai namun inferior di bagian yang lain. Insan kamil adalah sosok manusia yang mampu merekat dan merajut pelbagai nilai dan prestasi secara seimbang. Insan kamil tidak bisa diwakili oleh sosok petapa yang perutnya kempes, badannya lesu, mukanya pucat pasi, matanya merah karena kurang tidur, namun kepekaan sosialnya hilang. Manusia seperti ini adalah abid yang individualis.
Insan kamil tidak juga diwakili oleh orang yang keberaniannya luar biasa bak macam kumbang yang selalu siap menerkam mangsanya. Manusia seperti ini mengganggu kenyamanan dan keamanan orang lain. Insan kamil bukan juga pada diri filosof yang mengkultuskan akal namun aspek rohaninya kering kerontang. Ia lebih banyak mendiskusikan agama dan menghafal istilah-istilah filosofis ketimbang mengamalkannya. Dan insan kamil tidak bisa diklaim oleh pemabuk cinta yang kemana-mana mensenandungkan nyacian cinta dan mabuk dalam buaian arak cinta. Ia hanya mendekati Tuhan-Nya dengan syair-syair cinta dan nada-nada mahabbah, namun ia mengebiri akal. Sebab, baginya akal adalah “tirai” yang menutup jalan manusia menuju al Mahbub.
Jadi, insan kamil adalah sosok manusia yang berhasil memadukan nilai-nilai luhur dan bajik secara proporsional. Ia abid, sekaligus `arif (pesalik jalan spiritual dengan makrifat), sekaligus `akil (pengguna akal) dan asyiq (pecinta). Dan akhirnya ia sejatinya adalah manifestasi ‘abdul haqiqi (hamba sejati) Wajibul Wujud.
Tokoh-tokoh dan Ajaran Insanul Kamiil
Konsep Insan Kamiil Penurut Para Tokoh Tasawuf
Beberapa tokoh tasawuf menjelaskan tentang konsep insan kamiil dan ajarannya, yaitu:
Insan kamiil menurut Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
Insan kamiil adalah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya, kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manivestasi sempurna dari citra tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut ma’rifat.
Kesempurnaan insan kamiil itu pada dasarnya disebabkan pada dirinya Tuhan bertajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Hakikat Muhammad merupakan wadah tajalli.
Jadi, dari satu sisi, insan kamiil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika.
Insan Kamiil menurut ‘Abd Al- Karim Al-Jilli
Al-Jilli merumuskan insan kamiil ini dengan merujuk pada diri nabi Muhammad saw sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata dipahami dlam pengertian Muhammad saw sebagai uttusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/ roh) ilahi yang menjadi pangkal dan proses kehidupan di jagad raya ini.
Nur ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dlam diri Muhammad juga dipancarkan Allah swt kedalam diri nabi Adam as. Al-Jilli dengan karya monumentalnmya yang berjudul al-insan al-kamiil fi Ma’rifah al-waqir wa al-Awa’li (manusia sempurna dalam konsep pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan Terakhir) mengawali pembicarannya dengan mengidentifikasikan insan kamiil dengan dua pengertian.
Insan kamiil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengrtian demikian, insan kamiil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
Insan kamiil terdiri dengan keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurn aitu mencakup Asma’sifat dan hakikatnya.
Bagi al-Jilli, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohania dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya yang mutlak kedalam manusia melalui berbagai tingkan. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Ilahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Al-Jilli membagi insan kamiil atas tiga tingkatan.
Tingkat permulaan (Al-Bidayah). Pada tingkat ini insan kamiil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
Tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamiil sebagai orbit kekuasaan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqaiq ar- rahmaniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimilki oleh insan kamiil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena dari sebagiaan hal-hal yang ghaib telah dibutakan Tuhan kepadanya.
Tingkatn terakhir (al-khitam). Pada tingkat ini insan kamiil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Dengan demikian pada insan kamiil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.
Konsep insan kamiil menurut Al-Qur’an
Nabi Muhammad saw disebut sebagi teladan insan kamiil atau istilah populernyadidalam QS. Al-Ahzab/ 33:21
“sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyk menybut Allah”.
Allah swt tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semuanya, berstandar seenaknya, Rasulullah sawn yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah saw merupakan insan kamiil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlak yang mulia. Sebagaimana firman Allah swt :
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang mulia”. (QS. Al-Qolam:4)
Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang rasulullah rahmatan lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menajdi penutup semua nabi terdahulu yang diutus menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan firman Allah swt.
“sesungguhnya telah datang kepada kamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaany kejalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang dengan seizinnya, dan menunjuki mereka kejalan yang lurus.” (Al-Maidah :15-16).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari makalah ini maka kami dapat menyimpulkan bahwa :
Insan kamiil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata yaitu insan dan kamiil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamiil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamiil berarti manusia yang sempurna.
Adapun kata kamiil dapat pila berarti suatu keadaan yang sempurna dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
Selanjutnya kata insan dijumpai didalam Al-Qur’an dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamaknya kata al-nas yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Yang kedua bersala dari kata nasiya yang artinya lupa.
Sejarah Ringkas Konsep Insanul Kamiil
Menurut Ibn Arabi dan Konsep Insan Kamil, Ketika Ibn Arabi membahas manusia, beliau biasanya mengarahkan pembahasannya pada manusia sempurna, bukan manusia biasa yang umumnya dikenal dengan pelupa dan bodoh. Hakikat manusia sempurna yang dimaksudkan adalah arketipe abadi dan kekal dari seluruh manusia sempurna secara individual. Sedangkan menurut Teori Insan Kamil dalam Pandangan Muthahari, berbeda dengan Ibn Arabi yang mengulas konsep insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari mengkaji insan kamil dalam bukunya “Perfect Man” dari sudut pandangan Alquran. Namun sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional.
Konsep Insan Kamiil Penurut Para Tokoh Tasawuf, yaitu : Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, ‘Abd Al- Karim Al-Jilli. Sedangkan Konsep insan kamiil menurut Al-Qur’an yaitu Nabi Muhammad saw disebut sebagi teladan insan kamiil atau istilah populernyadidalam QS. Al-Ahzab/ 33:21
“sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyk menybut Allah”.
Saran
Dalam makalah ini memuat sumber yang masih begitu sedikit atau sumber informasinya masilah minim oleh sebab itu penulis menyarankan agar pembaca yang ingin ihmembuat makalah dengan judul yang sama sebaiknya juga lebih menambah suber referensi dan mengembangkan isinya karena idi dalam makalah ini belumlah pembahasanya belum begitu komplit dan masih ingin dikembangkan lagi sehingga dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Zaa El-buana Raden, Pengeruh Konsep Insan Kamil Ibn Arabi Dalam Tasawuf Nusantar, (http://blogspot.co.id), diambil pada tanggal 30 Maret 2018, pukul 10.00.
Nata Abuddin, Akhlaq Taasawuf, Jakarta; Rajawali Pers, 2009.
PENDAHUALUAN
Latar belakang
Dalam ilmu taswuf terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil diartikan sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut para ahlitasawuf falsafi ibnu Arabi dan Abd Aljilli, insan kamil yang paling sempurna adalah nabi Muhammad Saw.
Khalayak biasanya mengartikan “insanul kamil” sebagai manusia sempurna sebagai aktualisasi dan contoh yang perna ada hidu di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah Muhammsd Saw. Tapi sayang sosok nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya beliau hanya dilihat secara partial saja, [adahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu berduyun-duyunlah “pakar” Islam dari masa kemasa menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf “wajib”, kepada umat Islam untuk mengikuti contoh “perilaku” Nabi Muhammad saw.
Bagaimana konsep insan Kamiil dalam ilmu tasawuf yang lebih spesifik, akan dijelaskan pada makalah ini.
Rumusan Masalah
Apakah pengertian Insanul Kamiil ?
Bagaimanakah sejarah ringkas konsep Insanul Kamiil ?
Tokoh-tokoh dan ajaran Insanul Kamiil ?
Tujuan
Dari rumusan masalah diatas maka tujuan dibuatnya makalah ini yaitu:
Untuk mengetahui pengertian dari insanul kamiil.
Untuk mengetahui bagaimanakah sejarah ringkas dari konsep insanul kamiil.
Dan untuk mengetahui mengetahu tokoh tokoh dan ajaran insanul kamiil.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Insanul Kamiil
Insan kamiil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata yaitu insan dan kamiil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamiil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamiil berarti manusia yang sempurna.
Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insan memgacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.
Adapun kata kamiil dapat pila berarti suatu keadaan yang sempurna dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
Selanjutnya kata insan dijumpai didalam Al-Qur’an dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamaknya kata al-nas yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Yang kedua bersala dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan minta izin, dan semua artinya berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima penagajaran.
Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasia, insan mengandung arti lupa, dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Dengan demikian, insan kamiil lebih ditujukan kepada manusia yang lebih sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan pendahuluan fikih dan tasawuf inilah insan kamiil akan lebih terbina lagi. Namun insan kamiil lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyahnya, atau segi potensi intelekstuanya, rohaninya dan lainnya itu.
Insan kamiil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapakan dari manusia Insan Kamiil. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya didunia dan akhirat. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt. :
(((((( (( ((((((( ((((( (((( ((((((( (((( (((( (((( ((((( (((( (((((((( ((((((( ((((
88. (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
89. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,
Ayat tersebut diatas menunjukkan bahwa yang akan membawa kesalamatan manusia adalah bathin, rohani, hati dan perbuatan yang baik orang yang demikian itulah yang dapat disebut sebagai insan kamiil. Ppada ayat lain didalam Al-Qur’an banyak dijumpai bahwa yang kelak akan dipanggil masuk surga adalah jiwa yang tenang (Nafsu mutamainnah).
Sejarah Ringkas Konsep Insanul Kamiil
Ibn Arabi dan Konsep Insan Kamil
Ketika Ibn Arabi membahas manusia, beliau biasanya mengarahkan pembahasannya pada manusia sempurna, bukan manusia biasa yang umumnya dikenal dengan pelupa dan bodoh. Hakikat manusia sempurna yang dimaksudkan adalah arketipe abadi dan kekal dari seluruh manusia sempurna secara individual.
Muhyiddin Ibn Arabi menggunakan istilah manusia sempurna (insan kamil) dari sisi pandangan khusus tasawuf. Beliau mengambil pandangan al Hallaj lalu mengubahnya secara mendasar dan cakupannya pun dikembangkan secara jauh lebih luas.
Ibn Arabi dualisme aspek “lahut” dan “nasut” ditampilkannya dalam satu hakikat, bukan memiliki zat atau esensi tersendiri, lalu lahut dan nasut bukan hanya terdapat pada manusia, bahkan secara potensial ia mewujud pada setiap perkara yang lain, bahkan di otak pun terdapat peran keduanya, sehingga pada segala sesuatu dapat dikenali nasut sebagai manifestasi eksternal dan lahut sebagai manifestasi internal/batin. Namun Allah SWT yang memanifestasi (tajalli) pada segala sesuatu secara nyata, Dia mengejawantah secara sempurna pada sosok insan kamil dimana para nabi dan para wali merupakan contoh kongkrit yang paling menonjol darinya.
Pandangan ini merupakan tema asli dua kitab utama beliau, Fushus al Hikam dan at Tadbirat al Ilahiyyah, dan banyak bagian-bagian penting dari kitab tersebut yang kemudian ditelaah dan dikajinya kembali dalam kitab Futuhat al Makkiyah dan pelbagai karya beliau lainnya. Kitab Fushus al Hikam yang kemudian begitu tenar di kalangan umat Islam menjadi gita sufistik yang sangat disambut oleh para ulama kenamaan. Dalam beberapa abad yang lalu, lebih dari seratus sepuluh syarah dalam bahasa Persia, Turki, dan Arab ditulis untuk buku ini dan pandangan/teori insan kamil dipaparkan sebagai salah satu diskursus klasik mistik teoritis (`irfan nazhari).
Fushus al Hikam mempunyai dua puluh tujuh fash (segmen) dan masing-masing fash dinamai dengan nama-nama para nabi dimana mereka merupakan manifestasi insan kamil di zamannya dan salah satu dari pengejawantahan Muhammadiyah (Nur Muhammad) dan manifesati yang komprehensif dan holistik dari insan kamil adalah Nabi Muhammad saw.
Ibn Arabi memandang bahwa insan kamil adalah wakil yang benar/sah di muka bumi dan muallimul mulk (pengajar alam gaib) di langit. Dalam perspektif beliau, insan kamil adalah potret yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah dan derajatnya lebih baik dari batasan mungkin dan lebih tinggi dari maqam ciptaan (makhluk). Karena kedudukannya, pancaran rahmat dan bantuan al Haq (Allah SWT)—yang merupakan penyebab kelestarian alam—sampai kepada alam.
Teori Insan Kamil dalam Pandangan Muthahari
Berbeda dengan Ibn Arabi yang mengulas konsep insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari mengkaji insan kamil dalam bukunya “Perfect Man” dari sudut pandangan Alquran. Namun sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional.
Muthahari mengkitik tasawuf negatif yang hanya memperhatikan satu aspek dan nilai saja. Beliau mengkritik tajam kaum sufi yang mengabaikan peran akal dalam mendekati dan memahami agama serta perannya dalam perjalanan spiritual. Bagi Muthahri, pengembaraan dan pencerahan spiritual harus memakai kendaraan akal supaya sukses.
Perlu digarisbawahi di sini bahwa Muthahari tidak menyerang ajaran tasawuf secara keseluruhan, namun sikap ifrath (ekstremitas) dan tafrith (kelonggaran) yang menjadi sasaran kritikannya. Sebab bagi beliau, insan kamil adalah sosok manusia yang bukan hanya superior di satu bidang dan nilai namun inferior di bagian yang lain. Insan kamil adalah sosok manusia yang mampu merekat dan merajut pelbagai nilai dan prestasi secara seimbang. Insan kamil tidak bisa diwakili oleh sosok petapa yang perutnya kempes, badannya lesu, mukanya pucat pasi, matanya merah karena kurang tidur, namun kepekaan sosialnya hilang. Manusia seperti ini adalah abid yang individualis.
Insan kamil tidak juga diwakili oleh orang yang keberaniannya luar biasa bak macam kumbang yang selalu siap menerkam mangsanya. Manusia seperti ini mengganggu kenyamanan dan keamanan orang lain. Insan kamil bukan juga pada diri filosof yang mengkultuskan akal namun aspek rohaninya kering kerontang. Ia lebih banyak mendiskusikan agama dan menghafal istilah-istilah filosofis ketimbang mengamalkannya. Dan insan kamil tidak bisa diklaim oleh pemabuk cinta yang kemana-mana mensenandungkan nyacian cinta dan mabuk dalam buaian arak cinta. Ia hanya mendekati Tuhan-Nya dengan syair-syair cinta dan nada-nada mahabbah, namun ia mengebiri akal. Sebab, baginya akal adalah “tirai” yang menutup jalan manusia menuju al Mahbub.
Jadi, insan kamil adalah sosok manusia yang berhasil memadukan nilai-nilai luhur dan bajik secara proporsional. Ia abid, sekaligus `arif (pesalik jalan spiritual dengan makrifat), sekaligus `akil (pengguna akal) dan asyiq (pecinta). Dan akhirnya ia sejatinya adalah manifestasi ‘abdul haqiqi (hamba sejati) Wajibul Wujud.
Tokoh-tokoh dan Ajaran Insanul Kamiil
Konsep Insan Kamiil Penurut Para Tokoh Tasawuf
Beberapa tokoh tasawuf menjelaskan tentang konsep insan kamiil dan ajarannya, yaitu:
Insan kamiil menurut Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
Insan kamiil adalah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya, kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manivestasi sempurna dari citra tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut ma’rifat.
Kesempurnaan insan kamiil itu pada dasarnya disebabkan pada dirinya Tuhan bertajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Hakikat Muhammad merupakan wadah tajalli.
Jadi, dari satu sisi, insan kamiil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika.
Insan Kamiil menurut ‘Abd Al- Karim Al-Jilli
Al-Jilli merumuskan insan kamiil ini dengan merujuk pada diri nabi Muhammad saw sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata dipahami dlam pengertian Muhammad saw sebagai uttusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/ roh) ilahi yang menjadi pangkal dan proses kehidupan di jagad raya ini.
Nur ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dlam diri Muhammad juga dipancarkan Allah swt kedalam diri nabi Adam as. Al-Jilli dengan karya monumentalnmya yang berjudul al-insan al-kamiil fi Ma’rifah al-waqir wa al-Awa’li (manusia sempurna dalam konsep pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan Terakhir) mengawali pembicarannya dengan mengidentifikasikan insan kamiil dengan dua pengertian.
Insan kamiil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengrtian demikian, insan kamiil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
Insan kamiil terdiri dengan keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurn aitu mencakup Asma’sifat dan hakikatnya.
Bagi al-Jilli, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohania dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya yang mutlak kedalam manusia melalui berbagai tingkan. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Ilahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Al-Jilli membagi insan kamiil atas tiga tingkatan.
Tingkat permulaan (Al-Bidayah). Pada tingkat ini insan kamiil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
Tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamiil sebagai orbit kekuasaan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqaiq ar- rahmaniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimilki oleh insan kamiil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena dari sebagiaan hal-hal yang ghaib telah dibutakan Tuhan kepadanya.
Tingkatn terakhir (al-khitam). Pada tingkat ini insan kamiil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Dengan demikian pada insan kamiil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.
Konsep insan kamiil menurut Al-Qur’an
Nabi Muhammad saw disebut sebagi teladan insan kamiil atau istilah populernyadidalam QS. Al-Ahzab/ 33:21
“sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyk menybut Allah”.
Allah swt tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semuanya, berstandar seenaknya, Rasulullah sawn yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah saw merupakan insan kamiil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlak yang mulia. Sebagaimana firman Allah swt :
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang mulia”. (QS. Al-Qolam:4)
Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang rasulullah rahmatan lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menajdi penutup semua nabi terdahulu yang diutus menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan firman Allah swt.
“sesungguhnya telah datang kepada kamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaany kejalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang dengan seizinnya, dan menunjuki mereka kejalan yang lurus.” (Al-Maidah :15-16).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari makalah ini maka kami dapat menyimpulkan bahwa :
Insan kamiil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata yaitu insan dan kamiil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamiil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamiil berarti manusia yang sempurna.
Adapun kata kamiil dapat pila berarti suatu keadaan yang sempurna dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
Selanjutnya kata insan dijumpai didalam Al-Qur’an dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamaknya kata al-nas yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Yang kedua bersala dari kata nasiya yang artinya lupa.
Sejarah Ringkas Konsep Insanul Kamiil
Menurut Ibn Arabi dan Konsep Insan Kamil, Ketika Ibn Arabi membahas manusia, beliau biasanya mengarahkan pembahasannya pada manusia sempurna, bukan manusia biasa yang umumnya dikenal dengan pelupa dan bodoh. Hakikat manusia sempurna yang dimaksudkan adalah arketipe abadi dan kekal dari seluruh manusia sempurna secara individual. Sedangkan menurut Teori Insan Kamil dalam Pandangan Muthahari, berbeda dengan Ibn Arabi yang mengulas konsep insan kamil dalam bingkai tasawuf, Murtadha Muthahari mengkaji insan kamil dalam bukunya “Perfect Man” dari sudut pandangan Alquran. Namun sebagaimana Ibn Arabi, Muthahari melihat insan kamil sebagai manusia yang menangkap dan mengembangkan asma Allah secara proporsional.
Konsep Insan Kamiil Penurut Para Tokoh Tasawuf, yaitu : Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, ‘Abd Al- Karim Al-Jilli. Sedangkan Konsep insan kamiil menurut Al-Qur’an yaitu Nabi Muhammad saw disebut sebagi teladan insan kamiil atau istilah populernyadidalam QS. Al-Ahzab/ 33:21
“sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyk menybut Allah”.
Saran
Dalam makalah ini memuat sumber yang masih begitu sedikit atau sumber informasinya masilah minim oleh sebab itu penulis menyarankan agar pembaca yang ingin ihmembuat makalah dengan judul yang sama sebaiknya juga lebih menambah suber referensi dan mengembangkan isinya karena idi dalam makalah ini belumlah pembahasanya belum begitu komplit dan masih ingin dikembangkan lagi sehingga dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Zaa El-buana Raden, Pengeruh Konsep Insan Kamil Ibn Arabi Dalam Tasawuf Nusantar, (http://blogspot.co.id), diambil pada tanggal 30 Maret 2018, pukul 10.00.
Nata Abuddin, Akhlaq Taasawuf, Jakarta; Rajawali Pers, 2009.
Komentar
Posting Komentar