makalah filsafah ilmu


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ilmu
Kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab ‘ilm (‘alima-ya’lamu-‘ilm), yang berarti pengetahuan (al-ma’rifah),[1] kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang hakikat sesuatu yang dipahami secara mendalam. Dari asal kata ‘ilm ini selanjutnya di-Indonesia-kan menjadi ‘ilmu’ atau ‘ilmu pengetahuan’. Dalam perspektif Islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh (ijtihad) dari para ilmuan muslim (‘ulama/mujtahid) atas persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi dengan bersumber kepada wahyu Allah.[2] Menurut para ulama definisi ilmu antaranya, adalah:
1.      Menurut Imam Raghib Al-Ashfahani dalam kitabnya Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an
      Ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Hal terebut terbagi ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Hal tersebut terbagi menjadi dua; pertama, mengetahui inti sesuatu itu dan kedua adalah menghukumi sesuatu pada sesuatu yang ada, atau menafikan sesuatu yang tidak ada.
2.      Menurut Imam
      Ilmu adalah keyakinan yang kuat yang tetap dan sesuai dengan realita. Atau ilmu adalah tercapainya bentuk sesuatu dalam akal. Adapun menurut syari’at ilmu adalah pengetahuan yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW dan diamalkan, baik berupa amal hati, amal lisan, maupun amal anggota badan.
      Dalam pengertian syari’at, ilmu yang benar adalah yang diperoleh berdasarkan sumber yang benar yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW yang disebut juga ayat-ayat syar’iah; dan penelitian terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah SWT di alam semesta yang disebut juga ayat-ayat kauniah, melahirkan rasa ketundukan kepada Allah, dan diamalkan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Fathir ayat 28:

ومن لناس والدواب والانعام مختلف الوانه كجلك انمايخش الله من عباده العلمءاانالله عج يذغفور

Artinya:
      Dan demikian (pula) diantara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun”.
Al-Qur’an dan al-Hadits merupakan wahyu Allah yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi umat manusia, termasuk dalam hal ini adalah petunjuk tentang ilmu dan aktivitas ilmiah. Al-Qur’an memberikan perhatian yang sangat istimewa terhadap aktivitas ilmiah. Terbukti, ayat yang pertama kali turun yaitu Q.S Al-alaq berbunyهه
اقراباسم ربك الذي خلق
Artinya:
Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan”.[3]
 Membaca, dalam artinya yang luas, merupakan aktivitas utama dalam kegiatan ilmiah. Di samping itu, kata ilmu yang telah menjadi bahasa Indonesia bukan sekedar berasal dari bahasa Arab, tetapi juga tercantum dalam Al-Qur’an.
Selain kata ‘ilmu, dalam Al-Qur’an juga banyak disebut ayat-ayat yang, secara langsung atau tidak, mengarah pada aktivitas ilmiah dan pengembangan ilmu, seperti perintah untuk berpikir, merenung, menalar, dan semacamnya. Misalnya, perkataan ‘aql (akal) dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja lampau, dan 48 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya yaitu Q.S. al-Anfal: 22.

 ان شرالد واب عندالله الصم البكم الذين لايعقلون

Artinya:
Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk melata di sisi Allah adalah mereka (manusia) yang tuli dan bisa, yang tidak menggunakan akalnya”.[4] Kata fikr (pikiran) disebut sebanyak 18 kali dalam Al-Qur’an, sekali dalam bentuk kerja lampau dan 17 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah Q.S Ali ‘Imran: 191.

الذ ين يذ كرون الله قياماوقعوداوعلئ جنوبحم ويةفكرون في خلق السموة والارض
Artinya:
 ”…mereka yang selalu mengingat Allah pada saat berdiri, duduk maupun berbaring, serta memikirkan kejadian langit dan bumi”.[5] Tentang posisi ilmuan, Al-Qur’an surat al-Mujadalah: 11, menyebutkan:

يايحاالزين امنوااذاقيل لكم تفسحواف المجلس فافسحوايفسح الله لكم واذاقيل انشذ وافانشذ وايرفع الله الذين امنوامنكم والذين اوةواالعلم د رجة والله بماتعملون خبيرُ

Artinya:
 Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya  Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan : “Berdirilah kamu, maka berdirilah”, niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman diantara mu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[6]
Di samping Al-Qur’an, dalam Hadits Nabi banyak disebut tentang aktivitas ilmiah, keutamaan penuntut ilmu/ilmuwan, dan etika dalam menuntut ilmu. Misalnya, hadits-hadits yang berbunyi; “Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim dan muslimah” (HR. Bukhari Muslim).[7]
Besarnya perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan, menarik perhatian Franz Rosenthal, seorang orientalis, dengan mengatakan: “Sebenrnya tak ada  satu konsep pun yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam dalam di segala aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu. Hal ini tetap benar, sekalipun diantara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin, seperti “tauhid” (pengakuan atas keesaan Allah), “al-din” (agama yang sebenar-benarnya), dan banyak lagi kata-kata yang secara terus-menerus dan bergairah disebut-sebut. Tak satu pun diantara istilah-istilah itu yang memiliki kedalaman dalam makna yang keluasan dalam penggunaannya, yang sama dengan kata ilmu itu. Tak ada satu cabang pun dalam kehidupan intektual kaum muslimin yang tak tersentuh oleh sikap yang merasuk terhadap “pengetahuan” sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi, dalam menjadi seorang muslim”.[8]
B.     Tujuan Dan Fungsi Ilmu
1.      Tujuan Ilmu
      Seorang yang belajar agama atau menuntut ilmu, seharusnya tidak menjadikan ilmu hanya sebagai tujuan, namun ilmu merupakan wasilah atau saran untuk beramal saleh baik dalam akidah, ibadah, akhlak, adab atau muamalah. Seseorang yang memilki ilmu seperti seseorang memiliki senjata, karena hal itu bisa bermanfaat baginya atau justru bisa membahayakan didrinya. Nabi Muhammad Saw besabda “ Al-Qur’an itu Hujjah (argumen) bagimu atau atasmu”. H.R Muslim
      Dengan demikian ilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunah adalah ilmu yang memilki keutamaan yang agung, dimana pemilikinya beramal atasnya dengan pemahaman benar, sehingga Allah Swt mengangkat derajat dan memuliakannnya.
2.      Fungsi Ilmu
a.      Ilmu merupakan sarana dan alat untuk mengenal Allah Swt. (Q.S. Muhammad: 19).


فَاعْلُمُ لااله الاالله واسغفرلذنبك وللمءمنين والمءمنة والله يعلم مةقلبكم ومسوكم

 Artinya:
           Maka ketahuilah bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah selain Allah,dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu”.
b.      Ilmu akan menunjukkan jalan menuju kebenaran dan meninggalkan kebodohan.
c.       Ilmu merupakan syarat utama diterimanya seluruh amalan seorang hamba, maka orang yang beramal tanpa ilmu akan tertolak seluruh amalannya. Sebagaimana sabda nabi Saw: “Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah ilmunya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. (H.R. Muslim dari Aisyah Binti Abu Bakar).
C.    Metode Memahami Islam
            Dalam mempelajari ajaran Islam diperlukan sebuah metodelogi agar ilmu tersebut dapat tersistematisi dengan baik. Melihat pentingnya sebuah metodologi dalam memahami Islam, banyak ahli yang mencoba untuk menjelaskan metodologi mempelajari Islam tersebut. Salah satu ahli yang secara serius mengupas masalah metodologi adalah Ali Syari’ati. Ia mengatakan, ada berbagai metode untuk memhami Islam. Pertama, mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Kedua,  mempelajari kitab Al-Qur’an dengan membandingkan-Nya dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan samawi) lainnya. Ketiga, mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah. Keempat, mempelajari tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.[9] Dari seluruh cara yang ditawarkan oleh Syari’ati ini, pada intinya, yang tepat adalah cara komparatif (perbandingan), karena dengan cara komparatif ini, kita dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan masing-masing.
            Di samping menggunakan metode komparasi, Ali Syari’ati juga menawarkan cara memahami Islam melalui pendekatan aliran. Dalam hubungan ini, ia mengatakan bahwa tugas intelektual hari ini adalah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan dan masyarakat dan bahwa sebagai seorang intelektual, dia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi. Apa pun bidang studinya, dia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam dan tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Karena Islam mempunyai berbagai dimensi dan aspek, setiap orang dapat menemukan sudut pandang yang paling tepat sesuai dengan pandangannya. Dengan kata lain, Ali Syari’ati mengajak kepada seluruh intelektual Muslim dengan disiplin ilmu yang dimilikinya masing-masing agar digunakan untuk memahami ajaran Islam dengan berpedoman ajaran pada Al-Qur’an. Para sosiolog , sebagaimana halnya Ali Syari’ati, Sejarawan, budayawan, Sastrawan, dan sebagainya, dapat menggunakan keahliannya untuk memahami ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.[10]
            Selain Ali Syari’ati, terdapat pula ahli yang mencoba menwarkan metodologi dalam memahami Islam secara menyeluruh, yaitu Nasruddin Razak. Ia berpendapat bahwa memahami Islam menyeluruh adalah penting walaupun pemahaman tersebut tidak secara mendetail. Untuk memahami Islam secara benar, Nasruddin Razak mengajukan empat cara:
1.      Islam harus dipelajari dari sumber yang asli, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah Rasulullah SAW. Kekeliruan memahami Islam sering disebabkan orang hanya mengenal dari sebagaian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunah, atau melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqh dan tasawuf yang semangatnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Mempelajari Islam dengan cara demikian akan menjadikan orang tersebut sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme, hidup penuh bid’ah dan khufarat, yakni telah bercampur dengan hal-hal yang tidak Islami, jauh dari ajaran Islam yang murni.
2.      Islam harus dipelajari secra integral, tidak dengan cara parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat. Memahami Islam secara parsial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, kebimbangan dan keraguan.
3.      Islam perlu dipelajari dari perpustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama dan sarjana-sarjana Islam karena pada umunya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik, yaitu pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Al-Qur’an dan As-Sunah Rasulullah dengan pengalaman yang indah dari praktik ibadah yang dilakukan setiap hari.
4.      Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam Al-Qur’an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada di masyarakat.












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Dalam perspektif Islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh (ijtihad) dari para ilmuan muslim (‘ulama/mujtahid) atas persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi dengan bersumber kepada wahyu Allah.
            Seorang yang belajar agama atau menuntut ilmu, seharusnya tidak menjadikan ilmu hanya sebagai tujuan, namun ilmu merupakan wasilah atau saran untuk beramal saleh baik dalam akidah, ibadah, akhlak, adab atau muamalah. Seseorang yang memilki ilmu seperti seseorang memiliki senjata, karena hal itu bisa bermanfaat baginya atau justru bisa membahayakan didrinya.
Fungsi dari Ilmu:
a.      Ilmu akan menunjukkan jalan menuju kebenaran dan meninggalkan kebodohan.
b.      Ilmu merupakan syarat utama diterimanya seluruh amalan seorang hamba, maka orang yang beramal tanpa ilmu akan tertolak seluruh amalannya.
          Salah satu ahli yang secara serius mengupas masalah metodologi adalah Ali Syari’ati. Ia mengatakan, ada berbagai metode untuk memhami Islam. Pertama, mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Kedua,  mempelajari kitab Al-Qur’an dengan membandingkan-Nya dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan samawi) lainnya. Ketiga, mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah. Keempat, mempelajari tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.



[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), h. 1037. Lihat juga Tadris, Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, (Vol. 3, No.2, 2008), h. 122.
[2] Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 527. Lihat juga Tadris, Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, (Vol. 3, No.2, 2008), h. 122.

[3] Al-Qur’an surat al-‘Alaq: 1.
[4] Al-Qur’an surat al-Anfal: 22.
[5] Al-Qur’an surat Ali ‘Imran: 191.
[6] Al-Qur’an surat al-Mujadalah: 11
[7] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), h. 13.
[8] Rahardjo, “Ensiklopedia al-Qur’an:  Ilmu”, h. 57. Ungkapan Rosenthal tersebut dikutip oleh Dawan dalam karya Rosenthal berjudul Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1970). Lihat juga Tadris, Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, (Vol. 3, No.2, 2008), h. 124.
                [9] Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyuddin, dari judul asli On The Sociology of Islam, Ananda, Yogyakarta, 1982, h. 72.
                [10] Abudin Nata, Meteologi Studi Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2002, h. 95.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH ALAT PERAGA

MAKALAH STANDAR KOMPETENSI DA KOMPERENSI DASAR

Makalah Teori Adam Smith